Seperti masa sebelum-sebelumnya, setelah turun dari bus, aku menyusuri terowongan ini. Langkah demi langkah. Aku membayangkan seseorang itu di ujung terowongan. Sebenarnya, aku sudah membayangkannya selama aku di bus.
Dia, angsa hitamku. Yang menggerakkan seluruh badannya, bahkan hingga ujung jarinya yang lentik, mengikuti irama lagu. Telapak kakinya dengan ramah menyentuh tanah tanpa alas apapun. Matanya yang hitam dibuat senada dengan rambutnya oleh Sang Pencipta. Rambutnya hitam lurus seperti memantulkan sinar matahari. Silau. Dia selalu seperti mabuk dalam tariannya. Dia selalu dengan pakaiannya, atasan dan bawahan, berwarna hitam.
Dia, angsa hitamku, selalu ditemani dengan radio tuanya. Radio itu seakan merelakan sisa hidupnya untuk setia kepada pemiliknya. Menghembuskan nafasnya, lagu-lagunya, hanya untuk pemiliknya. Membiarkan pemiliknya mengambil alih panggung. Lagu-lagu yang diputar tidak pernah ku dengar sebelumya. Namun aku bisa ingat beberapa liriknya, yang sedih dan mengalun.
Saat bulan merenung, akankah mentari menyapa?
Saat angkasa lelah, akankah engkau bernyanyi?
Kemudian juga lagu lainnya yang pop. Yang saat diputar, membuat angsa hitam-ku sedikit merubah gerakannya menjadi lebih bersemangat dan melompat. Entah bagaimana dia bisa merubah suasana dari satu lagu ke lagu lainnya dengan cepat. Oh iya, aku ingat dia memakai topi beretnya untuk lagu ini. Berbeda dengan pakaiannya yang serba hitam, topi beret miliknya berwarna merah terang. Aku pernah bertanya-tanya, bagaimana perasaannya saat membuka lemari yang semua isinya berwarna hitam? Sampai suatu hari dia seakan menjawab pertanyaanku dengan mengeluarkan topinya “Isi lemariku tidak segelap yang kamu kira”.
Lagu cinta tidak buatku bosan
Mungkin nanti, mungkin nanti
Saat aku sudah tua nanti
Atau besok saat laut bergelombang
Suara di lagu-lagunya adalah suara seorang wanita. Aku selalu ingin menghampirinya, bertanya siapa penyanyi di lagu itu dan apa judulnya karena aku juga ingin mendengarkannya di rumah. Aku juga selalu ingin bertanya “Hei angsa hitam, siapa namamu?” Mungkin juga setelah itu aku akan bertanya dimana rumahnya dan mengapa dia selalu berada di tempat ini setiap sore.
Yah, aku memang pengecut, pertanyaan-pertanyaan itu nyatanya tidak pernah keluar dari mulutku. Tapi kemudian aku berpikir lagi, sebetulnya bukan salah aku juga. Dia, si angsa hitam itu, juga tidak pernah mengucap sepatah kata pun. Saat orang-orang berkerumun, menyaksikan penampilannya, menyerukan dukungan mereka, dia hanya melengkungkan bibirnya yang tipis dan membentuk sebuah senyuman. Terkadang dia juga membungkuk, menandakan terima kasih, kemudian dia akan langsung melanjutkan tariannya.
Setiap sore sepulang sekolah, melihat angsa hitam-ku menari bagaikan obat yang mujarab. Penat yang memenuhi kepalaku, hawa panas ibukota yang mengelilingiku, hilang dalam sekejap. Setiap harinya, dunia ini terasa seperti baru lagi. Seperti ada yang melukiskan warna-warna cerah diatas kelabunya langit yang tercemar polusi. Keesokannya dilukiskan lagi warna-warna cerah itu, begitu terus setiap hari, sehingga semua warna itu menimpa satu sama lain dan terus membentuk lukisan baru.
Hingga sampailah pada hari ini, saat aku turun dari bus, menyusuri terowongan sambil membayangkan bahwa si angsa hitam akan berada di ujung sana. Namun dia tidak ada disana. Aku yakin sekali kalau aku berada di tempat yang benar. Tapi dimana dia?
Tak seorangpun yang tahu. Dimana batang hidungnya nampak? Tiada tanda-tanda pancaran sinarnya yang merona. Beret merah, lenturan tubuhnya yang mempesona, hingga lentikan jari-jemarinya yang mengikuti irama lagu, seakan hilang kandas didalam dalamnya samudera.
Tapi tunggu, haruskah kubalik pertanyaannya?
Dimanakah aku? Apakah aku salah menumpangi bus? Jangankan angsa hitam yang selalu kubayangkan, tak ada tanda-tanda kehidupan yang nampak. Namun, tempatnya sama persis ketika pada hari-hari sebelumnya.
Hanya kabut yang kian memekat dan memeluk tubuh mungilku. Aroma mistis yang kian terasa mengarungi nafasku. Kulihat sekitar, tak ada yang ditakar. Gedung megah yang biasanya tinggi menjulang, kini nampak seperti bangunan mangkrak. Lalu, dimanakah diriku berpijak? Dimanakah angsa hitam yang telah lama kudamba? Suram!
Tidak! Tak seharusnya aku berada disini. Suasana yang tak semestinya, tak ada seorangpun disini yang berlalu lalang atau sekedar menonton angsa hitamku. Yang benar saja, apa aku dalam mimpi? Tidak. Apa ini adalah efek delusi diriku? Tidak juga. Ini semua seakan nyata dalam kehidupan yang nyata. Aku harus kembali ke bus sebelum terowongan tadi. Oh, tidak-tidak. Itu takkan mengantarku pulang. Baiklah, tiada pilihan lain. Aku terjebak di kotaku sendiri yang tiba-tiba berubah menjadi aneh. Angsa hitam, angsa hitam, dimanakah dirimu? Aku harus berani menembus kabut pekat ini untuk mencarimu –serta mencari jalan untuk keluar dari suasana ini.
“Semua takkan berubah, nona!”
Itu! Itu angsa hitamku! Dia masih sama seperti sedia kala. Beret merah dengan setelan pakaian serba hitam, sesuatu yang kian menentramkan jiwa di tempat yang fana.
Aku tak menyangka, pertama kali dia mencurahkan sajak-sajak indah dari mulut manisnya. Kupandang wajahnya yang berada dari kejauhan. Walau tak terlihat jelas, secercah harapan muncul untuk lebih dekat dirinya. Inilah saatnya!
Haru mulai hinggap dalam jiwaku. Diri seakan terdorong untuk menemuinya. Ingin kupeluk dia, sang angsa hitam pelipur lara. Angsa hitamku, yang tenggalam dan tinggal dalam palung hatiku.
Kuyakinkan diriku untuk mendekatinya. Berkata sebanyak yang kubisa. Walau mulut ini berbusa, badan ini berkeringat, kaki ini terhentak, tak kuhiraukan takut yang melanda karena delusi ini. Langkahku mulai menghampirinya. Seakan tak rela apabila dia harus berlalu begitu saja. Semakin ku mencurahkan rasa, semakin cepat langkahku menemui angsa hitamku. Aku akan mendapatkanmu!
Tapi tunggu...
“Angsa hitam, itukah kau?”
Langkahku perlahan-lahan terhenti karena kerisauanku –bisa kukatakan pula sebagai ketakutan yang niscaya. Benar penampilannya seperti biasanya, benar pula wajahnya masih sama seperti sedia kala, radio juga masih ia pegang. Tetapi tidak dengan raut wajahnya. Rona wajah yang biasa kudambakan, kini telah berubah menjadi kemuraman yang gelap. Raut wajah datar, muka yang kaku, hingga tatapan wajah yang kosong. Aku tak tahu apa yang terjadi. Apakah dia sakit? Apakah dia sedih? Atau dia merasa ada sesuatu hal buruk yang lain?
Tiba-tiba dia berbalik arah dan berjalan menembus kabut kota yang tebal. Melangkah tanpa arah. Tujuan tanpa alasan. Tak tahu apa yang ia lakukan dan ia renungkan.
Tak perlu kau bayangkan
Tak perlu kau renungkan
Bisikan yang menghantui pendengaranku. Entah dari siapa ataupun untuk siapa. Tak ada seorangpun yang aku lihat –mungkin karena kabut yang pekat atau perihal yang lain. Ah, sudahlah. Aku akan mengikuti kemana dia melangkah. Bukannya diperbudak oleh angan-angan, hanya dia yang bisa menjagaku saat ini. Berada di suatu tempat yang tak biasa. Mencekam, kata yang tepat untuk melukiskan pandanganku saat ini. Tabiat angsa hitam yang begitu bersahabat dan menerenyuhkan hati juga bercitra terbalik. Seandainya aku bisa meraih tangan lembutnya.
Perasaan yang tak biasa mulai hinggap menggerogoti jiwa. Perlahan beberapa penampakan ulai mendatangi mata. Aku tak tahu, makhluk apa yang kulihat. Itu masih berupa bayangan-bayangan yang menembus pekatnya kabut. Angsa hitam sama sekali tak gentar untuk melewatinya, berbalik denganku yang semakin takut akan kehadiran mereka. Hitam dan putih, warna kromatis hinggap dalam mataku. Seiring dengan bayangan makhluk-makhluk itu dan pakaian angsa hitam yang serba hitam, hanya beret angsa hitam yang lepas dari warna-warna mencekam itu.
Tep... tep... tep!
Takut semakin memeluk diriku. Seiring kami melangkah jauh, makhluk-makhluk kota kian tertera. Aneh, bentuk mereka bukan bentuk manusia saja pada umumnya. Aku tak bisa melukiskannya –bentuk mereka asimetris. Entahlah, apa mereka hantu, iblis, setan, alien, atau makhluk lainnya? Tidak ada satupun yang cocok dengan bayanganku. Aku sedikit lega ketika ada manusia yang ada disana. Tapi, mereka nampak pucat –terpampang nyata dari wajah-wajah datar yang kulihat. Sekalipun ada manusia, tatapan mereka sangatlah kosong. Apa yang terjadi pada mereka? Tak jarang ada manusia yang berinteraksi dengan makhluk-makhluk aneh itu. Berbeda dengan diriku yang sangat takut terhadap mereka.
Tiba-tiba angsa hitam berhenti. Kusadari kami berada di taman yang hitam. Daun-daun berwarna hitam, air mancur taman yang berwarna putih, kabut yang kian pekat adalah teman yang menemaniku mengikuti angsa hitam. Lantas angsa hitam mencopot beret merah kebanggaannya begitu saja. Nampak rambut hitamnya yang terurai diantara kabut yang hinggap. Tak biasa seorang yang kudamba melakukan hal aneh tersebut. Ada apa? Sore ini tak seindah biasanya.
Lagu-lagu yang biasa angsa hitam pakai melaui terdengar dari sound system di sekitar taman. Bukankah ini taman yang biasa aku kunjungi di setiap minggu pagi? Sepertinya angsa hitamku sangat terkenal di kota ini.
Matahari bersinar cerah
Hari yang terang benderang
Asa kian terajut
Rasa hati berbunga-bunga
Itu... itu lagu favoritku! Tapi, sajak-sajak pembangkit jiwa nampak tak indah ibarat ruang yang gelap. Merinding mulai terpancar dari tubuh mungilku. Perasaan yang kian tidak berkenan atas suasana ini. Angsa hitam kembali menghadap diriku. Dia melangkah ke arahku meninggalkan beret merah yang ia jatuhkan. Semakin jelas dia mengarah kepada diriku. Jantungku kian bedegup kencang. Apakah ini saatnya?
Angsa hitam membisikkan suatu patah kata kepadaku. Itu sangat jelas berdenging di telingaku. “Kau tak seharusnya disini”
Apa? Mengapa ia berkata demikian? Obat pelipur lelahku setiap sore kini berubah menjadi bisa yang beracun. Aku, takut sekali! Aku harus pergi dari sini!
“Tidak! Siapa kau?”
Tiba-tiba ada orang lain yang menghampiri diriku ketika berbalik. Aku mengurungkan niat pelarianku dari keanehan ini. Pakaian serba hitam dengan jubah yang menutupi tubuhnya, rambut undercut berwarna hitam. Pria misterius lain menghampiri diriku.
“Rara, cepatlah lari! Siapapun dirimu, pergilah dari sini!” Teriak angsa hitam. Seakan diriku dan angsa hitam tak bisa bergerak seiring kedatangan pria misterius itu.
“Selamat datang, teman-temanku! Selamat datang di kotaku!”
Jadi, pria misterius itu adalah walikota kota ini? Dia nampak muda, seumuranku.
“Bagaimana, apa kalian sudah berkeliling?”
Pria misterius itu mengajakku mengobrol bersama angsa hitam. Kami tidak tahu apa maksudnya. Apapun itu aku dan angsa hitam sekalipun tak mampu membalas perkataannya. Lidah seakan terkunci dengan gembok yang mendiami diri.
“Sepertinya, kau tidak harus kesini, nona. Nampaknya kau tertarik oleh pria yang ada disana.” Sambung pria itu.
Aku sangat takut. Makhluk-makhluk aneh di kota ini mulai berkumpul mengerumuni taman ini. Mereka datang dan berdiam diri diblakang pria kota itu. Mereka menatap kearahku dan angsa hitam. Seketika kami menjadi pusat perhatian –walau angsa hitam tak menari indah dengan iringan lagu di setiap sore.
Hah, aku tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, tempat ini sangat mencekam.
Hyaaaaaaa!!!!
Kemudian...
Kutemui diriku terbangun di bus yang membawaku. Turun didekat terowongan di sore hari. Jiwaku telah kembali! Aku bersyukur tadi hanya mimpi dan ilusi yang mencekam –keburukan di siang bolong. Aku masih merenungkan arti dari delusi yang seolah-olah nyata barusan. Apakah ini akan berkaitan dengan sesuatu tentang angsa hitamku? Aku masih ingin melihatnya lagi. Aku tak ingin dia berada di tempat yang sebelumnya kutemui.
Tapi...
Angsa hitamku, kemanakah ia? Tak ada penampilan yang tersaji di tempat biasa ia tampil di setiap sore. Benar, masih banyak orang yang hilir mudik disekitar panggung itu –aku benar-benar telah kembali. Tapi, tak ada tanda-tanda ia akan menari lagi. Aku takut. Aku khawatir. Risau yang berbaur dengan gundah gulana. Khawatir angsa hitamku benar-benar tinggal di dimensi lain.
Kulihat sekali lagi. Aku berharap tidak ada kejadian buruk lagi selepas ini. Baik untukku atau untuk angsa hitamku. Sekeliling tak luput dari pandangan mataku. Tak ada kejanggalan lain selain ketiadaan angsa hitamku di tempat ini. Oh kemanakah dia berada? Apa dia tetap tinggal disana bersama beret merahnya dan pria misterius berjubah hitam? Oh tuhan, aku sangat takut akan kehilangan dia.
Brukkk!!!
Aku menabrak seorang pria bertopi dan berjaket yang ada dibelakangku. Tapi tunggu dulu, aku familiar dengan orang itu. Postur badannya, wangi tubuhnya, kulit putih langsatnya. Apakah itu....
“Eh... maaf nona! Aku tak sengaja.”
Itu angsa hitamku!
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya memandanginya bahwa ia benar-benar ada didepanku. Lantas, kupeluk ia erat-erat.
“Hehe, ada apa, nona?”
“Aku mencarimu kemana-mana. Aku selalu menantikanmu dan membayangkan dirimu setiap sore. Semua yang kau tampilkan selalu kukagumi, begitupun juga dirimu.”
Perlahan ia melepaskan pelukanku dari tubuhnya.
“Ehehe, tenanglah, nona. Jadi, selama ini kau melihatku setiap sore ya. Aku sangat tersanjung karena itu.”
Dia, angsa hitamku, tersanjung mengetahui kekagumanku kepadanya. Oh tuhan, ini ibarat mimpi yang sempurna. Ketika kekaguman dan dambaan kepada seorang telah disadari, tak ada yang lebih indah. Bersama daun-daun bunga Sakura yang mengiringi pertemuan tak terduga ini –di dunia nyata.
“Eh, nona, pipimu merah! Kau seperti akan meledak! Hahaha.”
Ah, pipiku merah? Uh, aku sangat malu dia mengetahui perasaan hatiku yang menggebu-gebu. Dia berceloteh tentang pipiku –kurasa cukup tembem. Dia juga membantuku untuk berdiri setelah bertabrakan.
Kini, aku sangat dekat dihadapannya –sekitar beberapa jengkal saja. Apa yang harus aku lakukan? Pergi begitu saja? Eh, tidak. Sepertinya aku akan menanyakan sesuatu. Oh, tapi lidah ini sangat sulit untuk berucap, mulut seakan sulit untuk bersuara. Sudahlah, akan kulakukan –kesempatan tak akan datang dua kali.
“Eh, bo... boleh aku tahu namamu?” Tanya diriku kepada angsa hitam yang selama ini kudamba.
Senyuman langsung terpancar dari rona wajahnya. Perlahan angsa hitam melepas topi berwarna merah yang iagunakan. Nampak rambut hitamnya yang mengkilap muncul ke permukaan dunia. Dia akan menjawab seraya menyebut namanya –sudah lama kudambakan!
Namaku adalah......
Mimpi Yang Indah adalah Mimpi Yang Sempurna
Roberto Pablo Nano Alvarez
(Rara Fathiina S. & M. Iqbal Maulana)

Nice story
ReplyDeleteThanks bro
DeleteLanjutkan
ReplyDelete