MELAWAN DUNIA
Bagian IV
Pintu Harapan
Alas kaki akhirnya menginjak halaman rumah, aku mengucap salam dan memasuki rumah. Diriku segera mencari batang hidung kakak, aku membuka gorden kamarnya tetapi tidak menemui kakak, kemudian aku bertanya kepada Ibu keberadaan kakak tetapi juga tidak mendapat hasil, aku menuju dapur hanya terdapat piring dan gelas yang belum dicuci. Ketika sedang kebingungan mengenai keberadaan kakak, terdengar suara air mengalir di halaman belakang rumah lalu aku menengoknya melalui jendela, ternyata kakak sedang menyiram tanaman di halaman belakang.
"Kakak!" Aku menghampiri kakak yang sendang memegang selang.
"Hoi!" Ucap kakak.
"Kakak kemarin dapat uang dari mana?" aku bertanya dengan rasa penasaran.
"jadi ceritanya kakak sedang berjalan kebingungan mencari pekerjaan, ketika kakak berjalan di daerah pasar terdengar suara orang minta tolong, kemudian kakak menghampiri asal suara itu, ternyata ada wanita yang sedang terjambret, wanita itu menunjuk ke arah larinya jambret, lalu kakak dengan beberapa orang mencoba mengejarnya, masuk gang kecil-kecil. Ketika di gang keramat kakak menagkapnya. kakak kembalikan deh tasnya kepada wanita itu, lalu dia mengeluarkan semua isi dompetnya dan diberikan kepada kakak. Kakak awalnya menolak untuk menerimannya, tapi dipaksa! Dari situ kakak dapat 600 ribu." jelas kakak sambil memotong daun-daun kering.
"Ohhh begitu! lalu apa yang dikatakan wanita itu?" komentarku dengan hati yang lega. bertanya kembali dengan masih ada rasa penasaran.
"Dia bilang terimakasih, uangnya tidak begitu berharga katanya, yang berharga kartu-kartunya, wanita itu masuk ke mobilnya lalu pergi." ungkap kakak.
"Lalu bagaimana dengan penjambretnya?" tanyaku sambil memandangi kakak yang sendang menggulung selang.
"Penjambretnya dibawa sama orang-orang, gak tau kemana." Jawab kakak.
Kami pun masuk kedalam rumah, Ibu telah menyiapkan dua cangkir kopi di ruang tamu. Ibu juga bertanya tentang hal yang sama, kemudian kakak menjelaskan seperti yang dia jelaskan kepadaku.
Tepat seminggu setelah acara sakral itu dilakukan, aku duduk di kursi favorit almarhum ayahku. foto-foto saat wisuda aku masuk kan kedalam album keluarga, ayah pasti juga ikut bahagia ketika aku lulus dari perguruan tinggi. Tak selang beberapa lama Ibu menghampiriku dengan menghidangkan beberapa kue yang baru belau buat.
"Setelah ini kamu mau kerja atau bagaimana?" Ibu bertanya sambil mengambilkan aku air mineral kemasan gelas lengkap dengan sedotannya.
"Zainal sekarang mencoba untuk daftar polisi Ibu, mohon doanya." jawabku sambil tersenyum.
"Biayanya nggak mahal nak?" Ibu bertanya kembali dengan raut wajah datar.
"Jawabku sambil menggenggam tangan Ibu.
"Ibu doakan kamu bisa meraih cita-citamu, jangan lupa berdoa, belajar, latihan fisik juga. Enggak gampang nak masuk polisi itu." Ibu menasehatiku sambil menepuk lenganku.
"Iya Ibu, Zainal pasti akan melakukan yang terbaik." sambungku dengan meyakinkan Ibu.
"Kalau nggak lolos jangan sedih juga." Pinta Ibu.
"Iya Ibu, Zainal sudah mempersiapkan mental." sambil mengunyah kue.
"Sudah daftar atau bagaimana?" Ibu mencari kejelasan.
"Ibu doakan semoga kamu bisa lanjut ke tahap berikutnya." Raut muka Ibu yang penuh dengan harapan.
"Kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa." Aku memeluk Ibu.
Suara jangkrik menghiasi malam, lampu kuning memancarkan cahayanya di kala aku berbaring menatap langit-langit kamar. Tidak sabar menanti terbitnya sang surya, berharap aku lolos dalam seleksi administrasi, menjadi polisi adalah dambaanku semenjak kecil. Pintu harapan terbuka atau tertutup ditentukan besok.
Bersambung.
(Schaldy Maulidi Hidayat)

Lanjut kak
ReplyDeleteSiap
DeleteMantap semangat Zainal
ReplyDeleteSemangat Zainal
ReplyDelete