BUCIN KARENA TUHAN
Bagian II
Khawatir Karena Cinta
Jumat malam yang dingin , dengan secangkir teh wangi di meja belajarku. Notifikasi berbunyi dari smartphone buatan China milikku dan itu pasti balasan dari Okta.
"Kamu besok sibuk nggak?" tanya Okta.
Semakin penasaran kenapa dia bertanya begitu padaku. Okta tidak pernah bertanya seperti itu yang keluar dari bibirnya maupun via chatting.
"Besok ada rapat sihh, siang sampai sore, kenapa ta?" sambungku.
"Pagi ada waktu nggak, anterin aku belanja ke sardo?" dengan emot tertawa berkeringat.
"Waduh, maaf kalau besok pagi aku harus bersih-bersih, gimana kalau minggu aja?" dengan emot tersenyum.
"Minggu ya anterin aku?" dengan emot muka memerah.
"Oke siap." balasku dengan janji.
Gleg gleg, teh melewati mulut kemudian ke tenggorokan. Aku mulai membuka buku untuk menambah wawasan, lembar demi lembar aku baca, tidak jarang dalam otakku memikirkan Okta, ada kalanya aku jengkel. Jengkel ketika membaca sulit untuk memahami pesan disetiap lebar yang dikaburkan bayangan Okta.
Bulan berganti matahari, aku mengambil beberapa peralatan kebersihan dan bergegas menuju rumah baruku. Air setengah ember menemaniku, aku mulai mebersihkan lantai kamar satu persatu, keringat menetes di kening dan terhalang oleh alis. Waktu menandakan pukul 11.00, di kursi tua peninggalan pemilik rumah sebelumnya aku mengatur nafas. Pesan-pesan WA aku tatap dengan teliti setiap kata per kata dan jariku tidak berhenti bergerak membalas pesan-pesan itu, tak terkecuali pesan dari Okta yang memberikan semangat kepadaku hari ini.
Motor hitamku melaju, sekitar 15 menit aku sampai di OM Kopi, cafe di depan Universitas Islam Malang. Jam menandakan pukul 13.00, yang menandakan bahwa setengah jam lagi rapat akan dimulai, anggota organisasi mulai berdatangan setelah aku memesan secangkir susu Red velvet. Rapat dimulai, masing-masing anggota menyampaikan pendapatnnya, setelah berjalan 1 jam setengah adzan Asar berkumandang, rapat berhenti sejenak kemudian sholat berjamaah, setelah sholat sekilas aku membaca pesan dari Okta tetapi tidak menghiraukannya. Rapat dilanjutkan, perdebatan mulai muncul ketika aku tidak sepemahaman dengan salah satu senior, gagasan-gagasan baru muncul pula dari perselisihan tersebut, 2 jam kemudian titik mufakat ditemukan dan akhirnya rapat di akhiri.
Sajadah kulipat dengan benar, lalu membaringkan badan di kasur 2 x 2,5 meter dan membalas pesan dari Okta.
"Kok lama sekali rapatnya?" Okta bertanya dengan cemas.
"Iya tadi emang lebih lama dari biasanya, banyak debatnya, maaf ya." jawabku dengan emot mawar.
"Iya nggak papa, emang tadi rapat dimana?" balas Okta dengan emot muka khawatir.
"Di depan Unisma, kamu ngapain aja tadi?" mengalihkan topik
"Hmm tadi aku khawatir poll, aku mikir udah aneh-aneh, kamu sempetin donk balas chatku lain kali, jangan lama-lama." mengembalikan topik.
"U222, iya iya maaf cin bucin, wkwkwkwk. kamu tadi ngapain aja?" balasku mencairkan suasana dan mengalihkan topik lagi.
"Belajar aja terus ngaji." dengan emot bahagia.
"Idola." balasku singkat dengan emot jatuh cinta
"Besok jadikan?" dengan emot gugup dari Okta.
"Jadi donk, besok aku jemput, kan aku sudah janji." sambungku dengan emot berkedip.
"yeeeee." balasnya dengan emot love dan tersenyum puas.
Malam itu terasa panjang sekali, sulit tidur. Yang aku bayangkan hanya Okta dan tidak sabar menunggu hari minggu, mungkin Okta juga berpikir begitu.
Bersambung
(Schaldy Maulidi Hidayat)

👍
ReplyDelete