BUCIN KARENA TUHAN
Bagian IV
Cemburu Pada Laki-Laki Tua
Aku menatap papan tulis putih dengan penuh perhatian, bibir AC (air conditioning) terus bergerak, suhu dingin menusuk hingga tulang-tulangku. Senja mulai tiba, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, kawan-kawanku seperti sudah tidak ada tenaga untuk melanjutkan mata perkuliahan kala itu. Dosen kami mungkin juga merasakan hal yang sama, terlihat pada gaya mengajarnya yang tidak luwes lagi.
Adzan magrib berkumandang, aku bersama kawan-kawan bertolak menuju mushola. Aku sempat melihat status Okta ketika hendak menghilangkan dering pada smartphoneku. Setelah beberapa menit salam terdengar dari imam, kembali aku bertanya kepada tuhan, apakah Okta dipertemukan denganku karena Tuhan. Perutku terasa lapar, teman-teman sempat berunding untuk makan malam bersama, tetapi tidak ada kata sepakat, kemudian kawan sekelasku berpamitan satu per satu, tinggal aku sendiri mahasiswa semester 3 di mushola itu.
Perutku kali ini berbunyi, bertanda tidak ada makanan yang diolah oleh usus. bergegas aku menghubungi Okta.
"Hallo Assalamualaikum bucin." salamku dengan manis.
"Wa'alaikumsalam bucin." Jawab Okta dengan tertawa.
"Kamu enggak ngaji?" tanyaku basa basi.
"Enggak, aku nggak ke masjid, halangan aku. Emang kenapa?" sambung Okta.
"Kamu udah makan nggak, temenin aku yuk makan?" tanyaku, langsung pada intinya.
"Boleh, emang mau makan dimana?" Balas Okta
"Di daerah Suhat aja, aku jemput ya di depan pesantren." Jawabku.
"Iya , yaudah Assalamaulaikum." salam Okta.
"Wa'alaikumsalam." Pangkasku.
Sampailah di tempat makan, aku dengan Okta menghabiskan waktu dengan canda tawa. Setelah 2 jam berlalu Okta mengajak aku untuk pulang.
"Udah malem nih, ngomong-ngomong pondokku tutup jam setengah sepuluh." sindir Okta.
"Habiskan dulu minumnya, setelah itu pulang." balasku dengan syarat.
"Ohh iya, besok lusa ada acara simulasi kerjasama perusahaan ya?" Tanya Okta setelah menghabiskan minumnya.
"Iya, besok mulai dekor, lusanya harus siap jam 7." Jawabku.
"Kuy pulang." Ajak Okta.
Hari yang melelahkan, mata terasa berat, betis, paha, dan pundak terasa pegal-pegal. Beberapa tugas menunggu untuk dikumpulkan besok, aku memutuskan untuk tidur terlebih dahulu kemudian melanjutkan tugas buat besok yang sudah aku cicil sebelumnya. Aku pasang alarmku kemudian aku tertidur.
Naik ke lantai 3, dengan seragam kebanggaan jurusan Administrasi Niaga. Tok! tok! tok!, masuk ke kelas, menyapa teman-temanku, kemudian duduk di depan meja dosen dengan mengipas badanku dengan buku. Beberapa menit kemudian terdengan suara dosen berdialog, rupanya itu dosen yang akan mengajar kami, buku dan laptop aku tata dengan rapi, sekilas aku melihat chatting dari Okta.
Lontang-lantung, dan akhirnya berhenti di mini market Polinema. Aku duduk berhadap-hadapan dengan salah satu temanku, sambil memahami tugas dari dosen yang tidak bisa memberikan mata kuliah pada hari itu. Notifikasi berbunyi, banyak sekali pesan yang tidak aku baca, tidak terkecuali dari Okta, kemudian aku membalas pesan dari Okta.
"Kenapa kok bingung?" aku membalas pesannya.
"Bingung, banner sama brosur buat simulasi besok belum aku edit, aku nggak bisa ngedit."
"Coba kamu liat cara edit di Youtube." balasku dengan emot love.
"Iya, ini aku cari cara." balas Okta dengan emot senyum terbalik.
Setelah seluruh jam kuliah berakhir, seluruh peserta simulasi sudah berkumpul di Graha Theater, ketika di Graha Theater aku tidak milihat ada Okta di kerumunan sebelah utara tempat anak kelasnya berkumpul, aku tengok smarphone berharap ada keterangan dari Okta, ternyata dia sedang bersama temannya mengerjakan banner dan brosur. Tetapi ada yang aneh, seluruh teman kelompoknya berada di Graha Theater.
"Kamu sama temanmu yang mana?" tanyaku dengan emot berfikir
"Dengan masku." jawab Okta.
"Mas Dias?" kembali aku tanya.
"Bukan, mas deh pokoknya, sudah dianggap adik sama papaku." Okta menjelaskan.
"Kok gitu, berarti bukan sedarah dong?" Aku kembali mencari kejelasan.
"Enggak sedarah." jawab Okta.
"Yang bener itu teman apa mas sih?" tanyaku tanpa emot.
"Mas itu lo, yang kemarin kamu ketemu juga." jawab Okta.
"Ohhh." Pangkasku.
Aku merasakan cemburu, benar-benar cemburu. Pikiranku kacau, aku tidak fokus dengan standku karena Okta. Setelah beberapa menit aku menuju fotocopy untuk mencetak pamflet, ternyata oh ternyata, aku melihat dari kejauhan di tempat fotocopy yang akan aku tuju, Okta bersama laki-laki itu bercanda lepas, semakin naik emosiku melihat itu. Aku coba menenangkan diri.
"Ya Tuhan, begitu sakit hati ini, berilah aku kekuatan untuk melangkah kesana demi acara simulasi ini." ku ucap dalam hati.
Sebelum aku melangkahkan kaki, Okta mengetahui kedatanganku. Secara spontan dia sedikit menjaga jarak dengan laki-laki itu, dengan berat hati aku melewati pintu masuk, tanpa sepatah katapun aku duduk jauh darinya di lobby, dia menelponku tetapi aku tidak mengangkatnya, dan tidak mau mendengarkan sepatah kata apapun darinya.
Hatiku tambah sakit ketika dia terus bercanda di depan mataku. kali ini kesabaranku sudah habis, aku butuh penjelasan dari Okta dan laki-laki itu, aku mengetik pesan singkat kepada Okta, bahwa aku ingin bertemu dengan laki-laki itu terlebih dahulu, kemudian aku ingin berbicara dengan dia setelah aku mengetahui siapa dia.
"Maaf mas, mas itu siapanya Okta ya mas?" tanyaku dengan nada yang tinggi.
"Santai aja mas, aku bukan siapa-siapanya dia, hanya masnya saja," jawabnya dengan dingin dan mata yang berkaca-kaca.
"Bukan siapa-siapanya kok gitu mas!, mas sudah tahu siapa sayakan?" emosi mulai meninggi.
"Iya mas, saya sudah tahu siapa mas ini, santai aja mas saya niatnya hanya membantu Okta." jawabnya denga mimik yang sama.
"ya sudah mas, pokonya saya nggak suka." jawabku dengan egois.
Setelah beberapa lama, laki-laki itu berpamitan dan segera meninggalkan kita berdua, 1 menit tanpa kata aku hanya menatap Okta yang menangis di hadapanku.
"Dia cuma masku, bukan siapa-siapa aku." klarifikasi dari Okta.
"Nggak sedarah kok, mas dari mana coba." sedikit marah kepadanya.
"Kan aku sudah jelaskan ke kamu." penjelasan dari Okta,
"Pokoknya aku nggak suka, aku cemburu." dengan Egoku,
"Dia itu sudah tua, umurnya 40 tahun." tambahan dari Okta.
"Yaelah, sudah tua aja, godain kamu." Ucapan dariku yang semakin emosi ketika dia sudah berumur.
"Enggak gitu, dia sudah dianggep adik sama orang tua aku." Okta dengan nada tinggi.
"Gak peduli pokoknya aku nggak suka, ganjen sekali kok godain anak muda sepertimu, emang dia nggak punya istri?" tanyaku dengan mata tajam.
"Belum, dia mau menikah bulan september nanti." jawab Okta.
"Makanya dia godain kamu, hei sayang Okta yang lugu, kamu mau! gara-gara kamu mereka nggak jadi nikah?" kali ini aku marah kepada Okta.
"Ya enggak lah, ahhh yaudah lah, aku mau balik" Okta menangis dengan emosi meninggalkan aku.
"Yaudah, balik sana." ucapku dengan emosi.
Meskipun berkata begitu aku mengikutinya hingga di depan pesantrennya.
"Kenapa kamu ngikutin aku?" tanya Okta masih menangis.
"Yaudah nanti aja dibahas di chat, jangan lupa sholat."Nasehatku.
"iya." pangkas Okta dengan tidak puas.
Aku pun berjalan kembali ke tempat fotocopy untuk mengambil pamflet, di perjalanan aku masih emosi dan cemburu, masih berfikir tentang laki-laki tua itu.
Bersambung.
(Schaldy Maulidi Hidayat)

Comments
Post a Comment