Bucin Karena Tuhan, "Pertanyaan Yang Tak Aku Jawab", Cerpen based on true story.

BUCIN KARENA TUHAN

Bagian V

Pertanyaan Yang Tak Aku Jawab


        Malam yang dingin dengan hujan rintik-rintik. Aku berpamitan kepada kawan-kawan dengan jas hujan yang telah aku kenakan, kemudian bertolak menuju rumah. Air membasahi sepatu dan kaos kaki, sepi mampring sepanjang jalan, sepeda motor yang aku kendarai melaju tanpa halangan. Kala itu hanya memikirkan Okta, aku harap bisa menyelesaikan masalah hari ini juga.

        "Assalamualaikum." salamku memasuki rumah.

        "Wa'alaikumsalam, kok baru pulang jam segini?" Mamaku bertanya.

        "Habis dekor stan buat acara besok, aku sudah bilang Mama tadi." jawabku sambil melepaskan sepatu dari kedua kakiku.

        "Tapi kamu enggak bilang lebih dari jam 10, Mama sampai nggak tidur nungguin kamu." Ucap Mama sambil duduk di kursi, sambil menatapku.

        "Iya, maulidi minta maaf." dengan nada datar.

        Pakaian aku ganti dengan seragam futsal SMA, kemudian meneguk air putih yang ada dimeja belajar, cas smartphone aku sambungkan, wifi secara otomatis tersambung, notifikasi berdatangan secara beruntun, 2 panggilan tak terjawab dari Okta. Aku mengambil earphone yang tergeletak di meja belajarku, kemudian aku menelphone Okta dari aplikasi WA.

        "Hallo, Assalamualaikum" salamku dengan lembut.

        "Wa'alaikumsalam." jawabnya dengan nada yang lembut pula.

        "Kamu udah mau tidur ta?" aku bertanya basa basi 

        "Enggak kok." jawab Okta.

        "Terus terang aku tadi cemburu, aku nggak tau dia sejatinya siapanya kamu, lagian kamu begitu lepasnya guyon dengan dia." mengangkat tema pembicaraan.

        "Enggeh, maaf sudah buat kamu cemburu, aku sebenernya nggak punya maksud buat kamu cemburu." Okta meminta maaf.

        "Ya sudah, aku juga minta maaf, aku pokonya nggak suka." dengan Egoku.

        "Enggeh, ya sudah nggak usah dibahas lagi." dengan nada hangat.

        "Iya, nggak tak bahas lagi, kelompokmu sudah siap buat acara besok?" Aku mengalihkan pembicaraan.

        "Siap nggak siap." Jawab Okta.

        Beberapa menit kemudian kita mengakhiri percakapan pada hari itu. Mata menjadi redup, pikiran sulit untuk fokus, sekali lagi aku meneguk air yang ada di meja belajarku, bantal aku tata dengan rapi, selimut aku bentangkan hingga membalut tubuhku. Merenungi dosa-dosa yang telah aku perbuat hari itu, dan kupanjatkan Doa, semoga hari esok lebih baik dari sekarang, tak selang beberpa lama akupun tertidur.

        Alarmku berbunyi, aku terbangun dari tidurku, dengan segera aku mandi. Sajadah aku beber, dan bersujud 4 kali, aku berdoa kepada Tuhan semoga hari ini dimudahkan dalam segala urusanku. Peralatan dan perlengkapan aku siapkan, dresscode aku kenakan sesuai dengan kesepakatan kelompok, mesin mobil aku panaskan, tepat pukul 06.00 aku menuju rumah baruku yang masih di renovasi untuk mengambil speaker sebagai pelengkap dekorasi pada stan kelompok.

        "Mas ini speakernya tak bawa dulu ya." ucapku kepada salah satu tukang.

        "Mau dibuat apa bos ini?" tanya tukang dengan membantu membawakan spiker masuk ke mobil.

        "Mau ada acara di kampus, nanti ini aku kembalikan lagi kesini." jawabku.

        Tibalah di Stan, kami satu kelompok sibuk memasang speaker, begitu juga dengan kolompok lain yang sibuk menyelesaikan dekorasi mereka. Aku melihat jadawal, jadwal itu berkata bahwa 15 menit lagi acara dimulai, tetapi kami tidak melihat dosen satupun yang hadir. 15 menit itu berlalu, tetapi acara tak kunjung dimulai, kami semua mulai kebingungan. Tepat pukul 08.05 akhirnya acara dimulai.

        Keringat berjalan di pipiku, panas mulai menerpa Graha Teater. Aku menyempatkan diri untuk mengunjungi stan dari Okta, berbincang untuk makan siang bersama dengannya. Adzan dhuhur berkumandang, kawan-kawan banyak yang meninggalkan stan untuk menuju ke masjid Raya Polinema, tak terkecuali aku.

        Sehabis sholat acara kembali dilanjutkan dan memasuki agenda akhir, yaitu agenda penilaian. Tepat pukul 12.30 salah satu dosen mengumumkan beberapa kelompok terbaik, salah satu kelompok yang berasal dari kelasku mendapat nominasi, kami bersorak gembira mendengar hal itu. 15 menit kemudian acara selesai, seluruh peserta membereskan stan masing-masing. 

       Aku dan Okta bertemu, kami sepakat untuk mengembalikan speaker ke rumah baruku terlebih dahulu. Setelah itu baru kita makan siang.

        "Mau makan dimana?" Tanyaku hangat kepada Okta.

        "Terserah bucin, aku ngikut kamu aja." Jawab Okta dengan senyuman.

        "Kalau gitu, kamu makan apa?" mengganti pertanyaanku.

        "Terserah, aku juga bingung, pokoknya sama kamu aja." Jawab Okta dengan pasrah.

        "Hmmmm, Bucin-bucin." Ucapku yang juga kebingungan.

        Akhirnya aku memutuskan untuk menuju kedai yang sama ketika aku bertemu dengan sepupuku Alip. Sesampainya di Kedai itu, aku tidak mengenali seorang pun kecuali kasir yang juga teman dari sepupuku Alip.

        "Kamu makan apa, mie sama telor ta?" tanyaku kepada Okta.

        "Iya, sama nasi nggak usah banyak-banyak" Jawab Okta.

        Kemudian aku mendekati kasir

        "Mas, mie, telor, sama nasi dua." pesanku kepada mas Ambon.
        
        "Siap bos, minumnya apa di, kayak biasanya?" tanya mas Ambon.

        "Yoi, 2 juga. Mas Alip tadi kesini?" Sambungku.

        "Enggak, paling nanti kesini." jawab mas Ambon.

        Aku kembali duduk bersama Okta di teras kedai menghadap ke jalan, tak lama pesanan kami datang.

        "Makasih mas." ucapku pada mas Ambon yang telah menyajikan pesanan kami.

        "Yoi sama-sama." jawab mas Ambon dengan senyuman, lalu meninggalkan kami.

        "Kamu kok sayang se sama aku?" Tanya Okta kepadaku.

        "Kamu kok mau sama aku?" Okta bertanya lagi.

        "Kenapa kok bucin ke aku?" Pertanyaan Okta yang ke 3.
        
        Deggg, pertanyaan itu mengetuk pintu hatiku. Aku tak bisa berkata apa-apa, Aku tak tau mau bilang apa, dan aku bingung mau menjawab bagaimana.

        "Makan dulu sayang." Aku mengalihkan pembicaraan.

        "Tapi jawab ya nanti? Okta meminta kepastian.

        "Enggeh." jawabku dengan sesuap sendok yang sudah aku angkat.

        Aku bertanya kepada diri sendiri, aku berfikir sambil makan, aku benar-benar kebingungan.

        "Ya Allah, bantu aku menjawab." ucap hati kecilku sambil jantungku berdetak kencang.

Bersambung.

(Schaldy Maulidi Hidayat)


         
        
         

        

        

Comments