MELAWAN DUNIA
Bagian I
Kertas Hasil Belajar
Malam yang dingin membuatku tak bisa menahan hangatnya kopi yang melewati
lidah dan bergulir ke kerongkongan, teringat nasehat terakhir yang pernah
disampaikan almarhum ayahku.
“jangan pernah merasa menyesal atas pilihanmu, karena suatu saat kita akan
di hadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.”
Kata-kata itu terlintas di benahku ketika duduk di kursi favorit ayah yang juga
tempat beliau menghembuskan nafas terakhir. Album foto keluarga terpampang
nyata di atas meja, aku ambil album itu untuk bernostalgia. Satu persatu halaman aku jelajahi, semakin jauh
aku melihat foto-foto ayah, semakin aku sedih. Aku sangat merindukan ayah yang
kembali ke pelukan Tuhan 3 tahun lalu karena serangan jantung.
“Ya Allah ampunilah segala dosa ayah dan terimalah amal ibadahnya.”
Begitu doa yang selalu aku panjatkan kepada Tuhan untuk ayah tercinta. Hanya
doa yang dapat aku berikan, padahal diriku pernah bercita-cita untuk memberikan
hadiah tiket menuju tanah suci kepada ayah dan Ibu, tetapi Tuhan memberikan
skenario lain terhadap cita-cita yang
telah aku dambakan sejak duduk di bangku SMP (sekolah menengah pertama).
Malam itu berlalu dengan cepat, sang surya kembali menyinari dunia. Aku
melangkahkan kaki dari kampus menuju rumah dengan penuh kegelisahan. Dalam
genggamanku terdapat sebuah amplop yang
ditujukan kepada Ibu , aku menyadari bahwa amplop yang aku bawa mengandung selembar
kertas yang terlipat dan bertuliskan hasil belajar selama satu semester yang
telah aku lalui.
“Assalamualaikum.” Salamku memasuki
rumah.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab ibu yang sedang menungguku sambil menjahit sebuah baju.
Aku duduk di ruang tamu dengan menghela nafas panjang, kemudian Ibu menghidangkan
secangkir teh tepat di depanku.
“Ini dari jurusan Ibu.” Amplop aku berikan kepada Ibu.
Ibu menerimanya dan merobek segel amplop, aku hanya berdoa dalam hati
semoga nilaiku tidak turun dari semester sebelumnya.
“Coba kita lihat, gimana hasil belajar kamu selama ini.”
Ibu membaca satu persatu kolom nilai
setiap mata kuliah, ibarat ibu sedang mengaitkan benang jahit ke jarum.
“Ya bagus, tapi turun sedikit dari semester kemarin, kenapa kok hukum
bisnismu dapat C?” tanya ibu dengan nada datar.
“Enggak cocok sama dosennya Ibu.” Jawabku dengan kepala menunduk.
“hati-hati lo, jangan sampai dibawah 3.5 kumulatifnya.” Nasehat dari Ibu.
“Enggeh Ibu.” Jawabku.
“Ya sudah ganti baju dulu sana.” Ucap Ibu dengan mengembalikan kertas hasil
belajar dan meninggalkan ruang tamu.
“Coba lihat.” Kakak menghadang.
Kakak meminta kertas hasil belajar yang sudah aku lipat rapi di saku kemeja
yang aku kenakan.
“Wahhh, kakak bangga kepadamu, teruslah belajar dengan giat dan raihlah
cita-cita yang kamu inginkan, jangan seperti kakak yang bekerja serabutan
seperti ini.” Dengan menepuk pundakku.
“Tentu dong aku janji kepada kakak dan akan membantumu untuk menghidupi
keluarga.” Ungkapku kepada kakak.
“Cetarrrr.” Terdengar suara piring pecah.
Suara itu berasal dari dapur, aku
dan kakak saling bertatap muka, kemudian segera menuju dapur untuk melihat apa yang terjadi.
Bersambung.
(Schaldy Maulidi
Hidayat)

Komen bang
ReplyDeleteMantab bang
DeleteNice kakak
ReplyDeletegayamu
Delete