Melawan Dunia "UKT mencekik" Cerpen.

sebelumnya

MELAWAN DUNIA

Bagian II

UKT Mencekik

Lantai putih berlumur darah dan serpihan piring berserakan, Ibu terkapar tidak sadarkan diri, dengan sigap aku dan kakak menggotong Ibu menuju kamarnya. Aku dan kakak dilanda kegelisahan, dua ujung jariku merasakan denyut nadi di bawah sendi tangan, lantas denyut nadi Ibu masih terasa. kemudian kami mencoba untuk menyadarkan Ibu tetapi tidak ada respon dari beliau.

“Apa kita bawa kerumah sakit saja?” Aku bertanya kepada kakak.

“Menurutmu sendiri gimana?” Kakak berbalik bertanya kepadaku.

“Kakak langsung hubungi pihak puskesmas saja kalau begitu.” Pintaku.

Ketika kakak hendak menghubungi rumah sakit Ibu terbangun.

“Nak!” Ucap Ibu dengan memegang lehernya.

“Ibu.” Ujar kakak dengan menggenggam tangan Ibu.

“Tolong ambilkan Ibu air.” Pinta Ibu.

“Zainal, ini Ibu sudah sadar, ambilkan Ibu air.” Kakak berteriak dari kamar Ibu.

Jaket tak jadi ku kenakan dan aku menggantungnya kembali di pintu kamar, segelas air putih aku berikan kepada Ibu.

“Ibu ke puskesmas ya?” Aku bertanya kepada Ibu.

“Enggak usah nak Ibu tidak apa kok, Ibu hanya lelah, kemarin Ibu terima cucian lebih banyak dari biasanya. ”ungkap Ibu dengan menepuk lenganku.

“Lain kali jangan terlalu dipaksa, Ya sudah Ibu istirahat dulu.” Ucapku sambil membantu Ibu untuk berbaring.

 Kegelisahanku dan kakak akhirnya terobati, kami meninggalkan kamar Ibu. Selepas sholat Asar aku melihat kakak sedang duduk di teras rumah sambil menatap kearah jalan. Kemudian aku bertolak menuju dapur untuk meracik dua cangkir kopi, nampan kayu berbentuk lonjong dan dua cangkir kopi di atasnya menemani langkahku menghampiri kakak, meja kayu diantara dua kursi menjadi tempat bertumpu nampan yang aku bawa.

Burung berkicau merdu sebelum senja, angin sepoi-sepoi menghantam sayap kupu-kupu yang berkelana di halaman rumah, angin semilir itu juga membuat daun menari. Aku menghela nafas panjang dan mengeluarkannya dari  mulut, aku sedikit ragu untuk memulai dialog dengan kakak tentang pembayaran UKT (uang kuliah tunggal) yang belum lunas.

“Kak, sepertinya ada yang membebani pikiranmu?” Sambil melihat wajah kakak yang muram.

“Sudah dua hari kakak enggak dapat pekerjaan, untung masih bisa ditutupi sama Ibu.” Ungkap kakak dengan mata sedikit berair.

Hati dan pikiran tiba-tiba menjadi kacau mendengar ungkapan dari kakak, Akal berdialog dengan nurani. Ribuan kosakata yang tersimpan di dalam kepala tidak mampu keluar dari mulut.

“Diminum Kak kopinya.” Ucapku setelah terdiam beberapa lama.

“Ya besok kakak cari kerja lagi.” Sambung kakak sambil mengangkat secangkir kopi.

“Apa Zainal cari kerja juga ya Kak?” Ucapku meminta saran.

“Kamu mau kerja apa emang, kuliahmu bagaimana?” Kakak bertanya kepadaku.

“Enggak tau juga mau kerja apa.” Ujarku sambil memijat daun telinga.

“Enggak usah, mending kamu belajar saja.” Nasehat kakak.

“UKT semester lalu kurang 300 ribu kak, terakhir bayar minggu depan.” Sambungku.

Kakak menoleh kepadaku dan menatap wajahku beberapa detik,  sepertinya kakak kaget mendengar berita yang aku sampaikan, waktu yang pendek mengumpulkan uang  sebanyak itu.

“Iya, kakak dan Ibu akan usahakan ada minggu depan.” Ujar kakak.

Senja akhirnya tiba dan kami meninggalkan teras masuk ke dalam rumah, diriku menyempatkan menengok Ibu di dalam kamarnya. kemudian suara adzan terdengar dari kejauhan, sajadah aku beber menghadap kebarat dan aku bersujud 6 kali. Doa kupanjatkan kepada Tuhan untuk meminta kesehatan bagi Ibu serta rejeki untuk membayar UKT. Selepas sholat Ibu memanggilku dan aku bergegas menghampirinya.

“Loh Ibu ngapain di sini, kok enggak tidur aja di kamar?” Bertanya kepada Ibu yang sedang duduk di ruang tengah.

“Kakakmu ke mana, kok enggak ada?” Ibu berbalik bertanya.

“Loh tadi ada di kamarnya.”  Jawabku sambil membuka gorden kamar kakak.

“Kok perasaan Ibu enggak enak.” Ungkap Ibu.

Ibu merasa cemas, kakak tidak berpamitan sama sekali kepadaku maupun Ibu. Aku mencoba untuk menghubunginya tetapi tidak ada jawaban.

Bersambung.

selanjutnya

(Schaldy Maulidi Hidayat)


Comments

Post a Comment