Bucin Karena Tuhan "Harapanku Kepada Okta" Cerpen based on true story.

        
BUCIN KARENA TUHAN

Bagian III

Harapanku Kepada Okta


    
        Tepat pukul 04.00 alarmku berbunyi, aku pun bergegas membersihkan diriku. Setelah mandi aku membuka smartphone buatan china milikku.

        "Selemat pagi, udah bangun apa belum?" pesanku kepada Okta.

        "Sudah, kamu tadi malem tidur jam berapa? kok terakhir online jam satu." balas okta dengan emot berfikir.

        "Aku tidur jam setengah dua, nggak bisa tidur soalnya, kamu sendiri jam berapa tidurnya?" aku balik bertanya.

        "Jam setengah satu mungkin sudah tidur, emang kenapa kok tidur larut banget?" dengan emot tersenyum terbalik.

        "Mikirin kamu." balasku dengan emot love dan mawar.

        "U2222, yaudah nanti tak kabari lagi, aku mau sholat terus ngaji." sambungnya dengan emot bahagia dan love.

        "Iya semangat ta." pangkas ku dengan emot senyum.

        Adzan subuh tiba, aku kenakan penutup kepalaku dan aku melangkah menuju mushola yang tidak jauh dari rumahku. Setelah bersujud 4 kali, aku meminta pertolongan dan meminta rejeki, meminta kemudahan, meminta kesehatan, meminta perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak lupa dalam diriku bertanya kepada Allah.

        "Ya Tuhan, apakah Okta kau pertemukan untuk diriku semata? Engkau tidak pernah mempertemukan wanita seperti Okta sebelumnya. Semoga Okta yang terbaik, semoga Okta lebih baik dari yang sebelumnya dan semoga Okta menjadi yang terakhir , menjadi pendamping yang baik untuk diriku di masa depan, Amin."

        Pukul 08.00 di layar laptop ku, aku bergegas untuk mengganti bajuku. Kemudian mengambil piring, sendok dan garpu, aku buka tudung saji dan ternyata makanan belum siap. Tak kehabisan akal, aku bergegas membuat mie instan dan memakannya, ketika selesai makan dengan sengaja aku tidak mencuci seperangkat alat makanku tadi, dan Mama mengetahuinya.

        "Maulidi, hayo dicuci dulu piringnya!" dengan muka yang sedikit kesal.

        "Iya ma" balasku dengan melepaskan sepatu  yang sudah aku kenakan di kaki kananku.

        "Mau kemana kamu? kok sudah rapi." Mama bertanya.

        "Mau ke Malang ma." balasku, dengan piring kotor ditangan.

        "Ada urusan apa di Malang? ini kan minggu." bertanya dengan rasa penasaran.

        "Mau main sama teman mama." balasku dengan membilas piring.

        "Ya sudah hati-hati." Nasehat dari mama.

        "Iya ma, aku berangkat dulu." pangkasku.

        Tombol start aku pencet, mesin mobil menyala, aku injak pegas mobil. kala itu sangat padat sekali jarak antar mobil, nomor polisi mobil depan dan belakang menandakan bukan berasal dari kota Batu. Sekitar 30 menit kemudian aku tiba di kota Malang, aku mencoba untuk menghubungi Okta tetapi tidak ada respon darinya. Beberapa menit kemudian Okta menghubungiku, kita sepakat akan bertemu di depan kampus.

        Okta duduk disebelahku. Cerah wajahnya murah senyumnya, rasanya duduk seperti disamping bidadari, di dalam hati aku kembali bertanya kepada Tuhan dengan pertanyaan yang sama. Sepanjang jalan, Okta  berkelukesah dan bercerita kepadaku tentang masalah yang dia hadapi, pada akhirnya sampai di depan Sardo.

        "Kita parkir di samping kedai kopi yang bisanya aku nongkrong ya, jalan sedikit nggak apa kan?" tanyaku dengan memegang kendali mobil.

        "Nggak masalah kok." jawab Okta dengan halus.
       
        Ketika tiba di parkiran, aku melihat motor sepupuku terparkir, ternyata benar ada sepupuku yang sedang bersenda gurau dengan kawan-kawannya di kedai yang biasanya tempat aku dan sepupuku berdiskusi. Okta aku ajak untuk menemui sepupuku, pada awalnya menolak tetapi Okta dan Aku menyalami sepupuku dan kawan-kawannya.

        "Mas Alip , Mas Erik, Mas Ambon." Sapaku sambil menyalami mereka.

        "Lohh ini yang mana lagi cong?" Mas Alip sepupuku, menayakan Okta.

        "Teman Mas" Jawabku singkat dengan malu

        "Teman apa teman?" Sindirnya kepadaku.

        "Ya mungkin ini yang terakhir mas." dengan menghela nafas.

        Tak lama di kedai itu aku bertolak menuju ke Sardo dengan berjalan kaki. Seperti seorang body guard, aku mengawal Okta dan membawakan seluruh belanjaannya, Okta mulai mengambil keperluannya dari rak satu menuju rak lainnya, naik turun dari lantai bawah keatas. Sekitar 45 menit, kita meninggalkan Sardo dan kembali menuju kedai di belakang Sardo itu.

        "Wahhh nganterin belanja ya?" tanya mas Alip, mahasiswa universitas Barawijaya itu.

        "Iya dong, kan aku bucin" Jawabku duduk di depannya.

        Waktupun menandakan pukul 4 sore. Waktunya pulang, setelah menyalami sepupuku dan kawan-kawannya, aku mengantar Okta pulang ke pesantrennya. Setelah sampai di depan pondoknya, kita mengobrol singkat.

        "Makasih sudah nganterin belanja aku, nanti kabari aja kalau sudah dirumah, dada bucin." tertawa sambil menutupi mulutnya.

       "Sama-sama, iya nanti aku kabari, yaudah dada bucin." jawabku dengan tertawa membalas tawanya.

        Waktupun semakin sore. Aku bergegas pulang, saat diperjalanan pulang aku melihat salah satu tempat makan yang sangat ramai, sebelumnya aku belum pernah melihak tempat makan baru itu. Terlintas dipikiranku untuk mengajak Okta mengunjungi tempat itu dan semoga Okta tidak menolak dan menerima ajakanku.

Bersambung.
(Schaldy Maulidi Hidayat)

Comments

Post a Comment